
Tebing Tinggi, Antartika Media Indonesia – Rencana pelaksanaan pasar malam bertajuk “Gebyar Idul Fitri 01” yang akan digelar di Tanah Lapang Merdeka, jantung Kota Tebing Tinggi, mulai 30 April hingga 4 Juni 2025, menuai protes keras dari masyarakat. Penolakan ini muncul dari berbagai lapisan warga yang menilai kegiatan tersebut akan menimbulkan lebih banyak dampak negatif daripada manfaatnya, baik dari sisi pendidikan, sosial, hingga ekonomi.
Salah satu kekhawatiran utama masyarakat adalah terganggunya fokus belajar anak-anak, mengingat pelaksanaan pasar malam bertepatan dengan masa ujian akhir semester. Aktivitas pasar malam yang umumnya berlangsung hingga larut malam dinilai dapat menciptakan kebisingan dan suasana yang tidak kondusif bagi pelajar.
“Anak saya sebentar lagi menghadapi ujian. Kalau setiap malam ada keramaian dan suara musik dari pasar malam, bagaimana mereka bisa belajar dengan tenang?” ujar Salah seorang ibu rumah tangga diseputaran lingkungan tersebut.
Selain itu, masyarakat juga menyuarakan kekhawatiran terhadap kemungkinan rusaknya fasilitas negara yang berada di area Tanah Lapang Merdeka. Lapangan ini dikenal sebagai ikon kota yang sering dimanfaatkan untuk kegiatan kenegaraan, olahraga, serta tempat warga bersantai bersama keluarga. Kegiatan pasar malam yang berlangsung selama lebih dari satu bulan dianggap berpotensi merusak infrastruktur taman, rumput, dan fasilitas umum lainnya.
“Kalau sudah selesai pasar malam, biasanya banyak fasilitas yang rusak. Rumput jadi tanah, tempat sampah penuh, dan banyak sudut lapangan yang kotor. Siapa yang tanggung jawab?” keluh syawal warga sekitar Tanah Lapang Merdeka.
Lebih jauh, beberapa warga juga mencurigai adanya praktik perjudian terselubung dalam permainan ketangkasan yang biasa hadir dalam pasar malam. Permainan seperti tembak balon dan lempar gelang diduga mengandung unsur taruhan, bahkan bisa melibatkan anak-anak.
“Kami menduga ada permainan yang mengarah ke judi. Ini bisa merusak moral anak-anak kalau tidak ada pengawasan ketat,” kata Dedy Yosua, selaku pemuda peduli sosial di Tebing Tinggi.
Ada juga Penolakan yang datang dari kalangan pelaku UMKM yang merasa terbebani dengan tarif sewa stan yang dianggap terlalu mahal. Biaya sewa stan yang mencapai Rp 5.000.000 untuk durasi kegiatan dinilai tidak realistis dan memberatkan, terutama bagi pedagang kecil yang hanya mengandalkan omzet harian.
“Kami ingin ikut, tapi biaya sewanya mahal sekali. Kalau hanya pedagang kecil seperti kami, bisa tekor duluan sebelum balik modal,” ujar Lilis, pedagang makanan ringan yang biasa ikut event lokal di Tebing Tinggi.
Banyak pihak mendesak Pemerintah Kota Tebing Tinggi untuk meninjau ulang keputusan tersebut dan mempertimbangkan lokasi alternatif yang lebih sesuai, misalnya di area pinggiran kota yang tidak mengganggu aktivitas pendidikan dan tidak merusak ikon kota. Warga juga meminta transparansi dari pihak penyelenggara terkait perizinan dan regulasi kegiatan hiburan yang dibawa dalam pasar malam.
Sampai saat ini, belum ada tanggapan resmi dari pemerintah kota maupun penyelenggara acara. Namun desakan masyarakat terus meningkat, menunjukkan bahwa keputusan ini perlu ditinjau ulang demi menjaga ketertiban, kenyamanan warga, serta keberlanjutan fasilitas publik kota.
Saya Selaku Ketua DPC Antartika Eduard Martin Sitompul & Kabiro Media Antartika Dedy Yosua Sitorus Kota Tebing Tinggi Tidak Setuju Adanya Kegiatan Pasar Malam Yang diselenggarakan di Tanah Lapang Merdeka Kota Tebing Tinggi. (Red)