Oleh: Ramses Sitorus
Ketua Umum ANTARTIKA/Akademisi Hukum.
Jakarta, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 merupakan tonggak penting dalam menegaskan prinsip supremasi konstitusi dan batasan kewenangan lembaga negara, khususnya Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Putusan ini secara eksplisit menegaskan bahwa anggota Polri aktif tidak dapat menduduki jabatan sipil tanpa terlebih dahulu mengundurkan diri atau pensiun dari institusi kepolisian. Putusan tersebut bersifat final dan mengikat, sehingga tidak membuka ruang tafsir yang berlawanan.
Namun demikian, lahirnya Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 10 Tahun 2025 justru menimbulkan persoalan serius dalam perspektif hukum tata negara. Perkap ini membuka ruang penugasan anggota Polri aktif pada jabatan di luar struktur Polri, termasuk pada 17 kementerian dan lembaga negara. Dalam perspektif hukum, kondisi ini patut dipandang sebagai pembangkangan normatif terhadap Putusan MK, karena peraturan internal tidak boleh mengesampingkan putusan lembaga konstitusional.
Dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Putusan MK memiliki kedudukan yang mengikat seluruh lembaga negara. Oleh karena itu, Perkap sebagai produk regulasi internal Polri tidak boleh bertentangan, apalagi melemahkan substansi Putusan MK. Jika praktik ini dibiarkan, maka akan terbentuk preseden berbahaya: lembaga negara dapat “mengakali” putusan MK dengan regulasi internal.
Dari sudut pandang akademik, argumentasi kebutuhan penyidik untuk mengisi jabatan di 17 kementerian dan lembaga tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Sistem hukum Indonesia telah mengakui dan mengatur secara tegas keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang merupakan bagian dari Aparatur Sipil Negara (ASN). PPNS memiliki kewenangan penyidikan sektoral sesuai undang-undang masing-masing kementerian dan lembaga, sehingga tidak ada kekosongan hukum ataupun kekurangan instrumen penegakan hukum.
Justru, penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan, konflik kepentingan, dan kaburnya prinsip netralitas birokrasi. Dalam negara hukum modern, pemisahan fungsi aparat penegak hukum dan aparatur sipil negara merupakan prinsip mendasar untuk menjaga akuntabilitas, profesionalitas, dan checks and balances antar-lembaga.
Lebih jauh, persoalan ini bukan semata konflik regulasi, melainkan ujian integritas Polri dalam menegakkan hukum secara konsisten. Polri adalah institusi penegak hukum yang seharusnya menjadi teladan utama dalam ketaatan terhadap konstitusi. Ketika Polri justru menerbitkan regulasi yang dipersepsikan bertentangan dengan Putusan MK, maka yang tergerus bukan hanya kepastian hukum, tetapi juga kepercayaan publik.
Dalam konteks reformasi hukum dan demokrasi, kepentingan internal lembaga tidak boleh ditempatkan di atas hukum dan konstitusi. Putusan MK adalah instrumen korektif untuk menjaga agar kekuasaan tidak melampaui batas. Mengabaikan atau menyiasatinya sama dengan menggerogoti fondasi negara hukum itu sendiri.
Oleh karena itu, Perkap Nomor 10 Tahun 2025 harus dievaluasi secara serius dan disesuaikan dengan Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025, serta dengan Undang-Undang Kepolisian dan Undang-Undang ASN. Kepatuhan terhadap Putusan MK bukanlah kelemahan institusi, melainkan bukti kedewasaan demokrasi dan komitmen terhadap supremasi hukum.
Negara hukum hanya akan berdiri tegak apabila seluruh lembaga negara, tanpa kecuali, tunduk pada konstitusi. Dalam hal ini, Polri sedang berada di persimpangan penting: menjadi teladan penegakan hukum, atau justru contoh pembangkangan konstitusional.