
Jakarta, mediaantartika.id – Mantan aktivis anti korupsi dan dulu menjadi juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah, kini berada dalam situasi yang memicu kontroversi. Setelah mengundurkan diri dari KPK, ia telah berubah haluan dan menjadi seorang pengacara yang berseberangan dengan lembaga yang pernah ia perjuangkan.
Febri Diansyah, yang sebelumnya merupakan sosok yang dikenal sebagai pembela ketat dalam upaya pemberantasan korupsi, kini telah menjadi kuasa hukum bagi Syahrul Yasin Limpo, seorang figur politik yang sedang menghadapi berbagai tudingan korupsi. Perubahan peran Febri dari seorang penegak hukum anti-korupsi menjadi pembela terdakwa kasus korupsi telah menimbulkan banyak pertanyaan di masyarakat.
Pertanyaan-pertanyaan seputar komitmen Febri Diansyah dalam upaya memberantas korupsi menjadi perhatian utama dalam kontroversi ini. Bagaimana seseorang yang dulunya berperan penting dalam KPK, yang bertugas untuk memberantas korupsi di Indonesia, kini menjadi bagian dari upaya pertahanan terhadap individu yang dihadapkan pada tuduhan korupsi?
Sejumlah pihak telah mengkritik perubahan arah karier Febri Diansyah, menganggapnya sebagai pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip integritas dan perjuangan melawan korupsi. Sementara itu, pendukungnya berpendapat bahwa sebagai seorang pengacara, ia hanya menjalankan tugasnya dalam memberikan bantuan hukum kepada siapa pun yang membutuhkan, sesuai dengan prinsip praduga tak bersalah.
KPK, sebagai lembaga yang pernah ia perjuangkan, juga turut menjadi bagian dari kontroversi ini. Meskipun KPK tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi pilihan karier individu, partisipasi Febri dalam kasus Syahrul Yasin Limpo telah menimbulkan pertanyaan tentang implikasinya terhadap hubungan KPK dengan mantan juru bicaranya.
Perubahan peran Febri Diansyah dari seorang pembela KPK menjadi kuasa hukum terdakwa korupsi adalah suatu fenomena yang memunculkan diskusi yang mendalam tentang moralitas, integritas, dan komitmen individu dalam upaya pemberantasan korupsi. Pergulatan ini menunjukkan bahwa persoalan korupsi di Indonesia bukan hanya sekadar masalah hukum, tetapi juga mencakup aspek-aspek moral dan etika dalam pelayanan publik.
(Jay/Red)